Sejarah

PENDAHULUAN 

Sejarah berdirinya sebuah masjid tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya masyarakat (komunitas) muslim di sekitar masjid tersebut. Bagi warga muslim pada umumnya, masjid bukan sekedar tempat shalat berjamaah, melainkan juga pusat pendidikan dan pembinaan umat. Di kompleks perumahan Griya Pagutan Indah (GPI), Kota Mataram, disamping sebagai tempat shalat berjamaah, taman pendidikan dan perayaan hari-hari besar Islam, masjid juga merupakan tempat penyelenggaraan aqiqah, akad nikah perkawinan, dan penanganan jenazah. Masjid Al-Achwan di GPI telah berperan sebagai pusat kegiatan ibadah warga muslim dari kelahiran hingga kematiannya. Sejarah sebuah masjid merupakan jejak dinamika masyarakat muslim yang mendirikannya. Jejak tersebut tampak dalam pemberian nama masjid, tata cara ibadah yang dilakukan di dalamnya, dan kepengurusan takmir masjid tersebut. Keragaman jamaah shalat yang memakmurkan suatu masjid juga dapat mencerminkan persatuan warga muslim yang menyemangati pendirian masjid tersebut. Masjid yang makmur yang didatangi oleh jamaah dari berbagai golongan merupakan tanda adanya persatuan di kalangan warga muslim. Pendirian sebuah masjid bukan sekedar membangun sebuah konstruksi berkubah melainkan juga membangun masyarakat muslim yang bersatu. Kemakmuran sebuah masjid dapat terjadi jika tumbuh rasa memiliki di hati para jamaah. Berdirinya Masjid Al-Achwan di GPI merupakan hasil perjuangan semua warga muslim GPI. Perum Perumnas sebagai pengembang kompleks GPI menyediakan tanah untuk rumah ibadah, sedangkan pembangunan masjid diusahakan sendiri oleh warga muslim yang bermukim di GPI. Kompleks perumahan GPI yang berjumlah .. unit rumah, dibangun secara bertahap sejak tahun 1995. Pada pembangunan tahan pertama, tahun 1995/1996, di bangun … unit rumah oleh Perum Perumnas. Pada tahap kedua dibangun … unit rumah oleh PT Lambang Sejati, pada tahun 2001. Pada tahap ketiga pembangunan dilaksanakan oleh Perum Perumnas pada tahun ..… sebanyak ….. unit rumah. Pada tahap keempat dibangun lagi …. unit rumah oleh Perum Perumnas pada tahun …... Penghuni pertama kompleks GPI adalah Mustofa, di Jl. Pantai Komodo. Penghuni GPI pada awalnya banyak yang tinggal di Jl. Pantai Komodo, Jl. Pantai Tanjung Ringgit dan Jl. Pantai Batu Layar. Pada awal berdirinya kompleks GPI, yaitu terbentuknya lembaga Rukun Tetangga (RT) 01, para warga telah bersepakat bahwa lingkungan kompleks GPI menjadi kompleks perumahan kota yang bernuansa kampung. Walaupun GPI termasuk dalam wilayah Kota Mataram dan warga di GPI sangat heterogen, setiap warga GPI hendaknya tetap saling mengenal, dan saling menyapa ketika berjumpa di jalan. Ketika warga GPI masih terdiri atas 2-4 RT, suasana perkampungan yang saling mengenal dan saling menyapa tersebut masih dapat terus dilakukan. Setelah jumlah warga GPI semakin banyak, semakin sulit untuk mengenal wajah dan mengingat nama mereka. Pada saat ini warga GPI sudah jauh berkembang menjadi 16 RT. Walaupun tradisi perkampungan tersebut semakin sulit dilakukan, semangat untuk tetap saling mengenal dan menyapa sebaiknya tetap dipertahankan dan selalu diupayakan. Warga yang lebih sering berjamaah di masjid akan lebih banyak mengenal tetangganya sehingga lebih mudah untuk menyapanya. Berdasarkan proses pendirian shalat Tarawih di bulan Ramadlan, warga muslim penghuni GPI dapat dibagi menjadi tiga gelombang pemukiman. Gelombang pertama adalah warga muslim yang telah bermukim di GPI ketika shalat Tarawih dilakukan di Jl. Pantai Sira 28, sebuah rumah kosong yang dipinjam sementara selama bulan Ramadlan 1996. Gelombang kedua adalah warga muslim yang menjadi penghuni GPI ketika shalat Tarawih dilaksanakan di Jl. Pantai Sira 22, rumah keluarga Suhardi Andung (almarhum). Warga muslim gelombang kedua tersebut datang antara tahun 1997-1999. Gelombang ketiga adalah warga muslim yang tinggal di GPI pada saat shalat Tarwih sudah dilaksanakan di Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Masing-masing periode gelombang pemukiman tersebut warga muslim memiliki tugas, peran dan tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan kondisi yang tersedia. Pada periode gelombang pertama, warga muslim GPI merintis persiapan rencana pembangunan masjid dan membangun pola dasar hubungan bermasyarakat antar warga GPI. Pada periode kedua, warga muslim GPI berjuang merencanakan dan melaksanakan pembangunan masjid. Sedangkan periode ketiga adalah ketika warga muslim GPI telah memiliki masjid dan berjuang untuk memakmurkan masjid. Pada periode pertama, warga GPI telah berhasil membangun masyarakat yang saling mengenal, saling menyapa, saling membantu, dan bergotongroyong mengatasi setiap masalah sosial yang bersifat kolektif. Semangat kekeluargaan dan kekompakan warga tersebut juga tercermin di dalam membangun masjid di GPI, yang sekarang bernama Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Sejak periode awal ini semua warga menginginkan sebuah masjid yang netral, tidak berkaitan dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu, yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan oleh seluruh warga muslim di GPI. Masjid di GPI ini juga diharapkan dapat digunakan oleh umat islam dari luar GPI yang memang sangat membutuhkannya, misalnya shalat jenazah bagi perantau (musafir). Di dalam perjalanan pembangunan masjid di GPI, nama masjid yang digunakan berubah beberapa kali. Perubahan-perubahan nama untuk masjid di GPI berjalan secara adaptif dan kooperatif. Bermula dengan wacana pemberian nama masjid “Alhamdulillah” (1996-1997), kemudian berubah menjadi nama masjid yang diputuskan warga “Al-Maghfirah” (1997-1999), yang berganti menjadi “Al-Achwan Maghfurullah” (1999-2007), dan akhirnya bernama “Al-Achwan” (2007-sekarang).
Proses perubahan nama tersebut merupakan bagian dari sejarah berdirinya masjid di GPI, yang mencerminkan semangat untuk terus memperbaiki diri. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mencatat proses pembangunan masjid di GPI, sebagai bagian dari sejarah berdirinya lingkungan GPI.
Sebagian besar catatan ini ditulis berdasarkan kesaksian dari warga yang terlibat di dalam pembangunan masjid, dan sejumlah dokumen surat menyurat yang ada di dalam arsip para pelaku sejarah.Walaupun tidak semua peristiwa dapat direkam di dalam buku ini, dan tidak semua nama-nama pelaku sejarah dapat tertuliskan, buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagaimana asal-usul pembangunan masjid Al-Achwan muncul sebagai wacana, kemudian digambarkan sebagai sebuah rencana, serta dilaksanakan dan dikembangkan sebagaimana yang ada sekarang ini.


INISIATIF MEMBANGUN MASJID

Pada tahun 1996, warga Griya Pagutan Indah (GPI) belum memiliki sebuah masjid. Inisiatif untuk membangun masjid juga belum muncul sebagai pemiikiran dan keinginan bersama warga muslim yang ada. Sebagian besar warga masih tinggal di Jl. Tanjung Ringgit, Jl. Batu Layar, dan Jl. Pantai Komodo. Sebagian besar rumah (… unit) yang sudah terbangun saat itu masih belum berpenghuni, bahkan belum laku terjual. Rumah-rumah yang sudah terbeli juga belum ditinggali oleh pemiliknya. Rawannya kondisi keamanan merupakan alasan utama banyaknya rumah yang tidak laku atau telah terjual tetapi tidak berpenghuni. Lampu penerangan jalan sangat baik pada saat itu. Sepanjang jalan yang sudah terbangun memiliki lampu penerangan jalan yang selalu menyala pada malam hari. Karena itu, pada malam hari kompleks GPI sangat terang, dengan rumah-rumah yang kosong. Banyaknya rumah yang kosong membuat para pengganggu keamanan lebih leluasa bergerak dan menyelinap di antara rumah-rumah tersebut. Hal ini membuat warga yang ingin pindah masuk ke GPI menjadi semakin ragu-ragu. Pada awal bulan Ramadlan tahun 1996, warga GPI masih berjumlah kurang dari 30 keluarga. Semua warga masih bernaung di dalam satu RT, yang diketuai oleh Fairuzzabadi, sekarang tinggal di Jl. Banda Sraya. Pada malam pertama bulan Ramadlan, Fairuzzabadi mengajak warga muslim untuk berkumpul di di Jl. Pantai Sira 28, sebuah rumah yang belum terjual, untuk menyambut bulan suci Ramadlan dengan melakukan shalat Tarawih bersama. Fairuzzabadi telah meminjam sebuah rumah tersebut untuk dijadikan sebagai tempat shalat Tarawih berjamaah. Aliran listrik diambil dari rumah Fairuzzabadi yang berada di belakangnya. Fairuzzabadi bertindak sebagai imam shalat, sedangkan Taa’mim merupakan muazin pertama di dalam tarawih berjamaah pertama tersebut. Sebagian besar jamaah adalah laki-laki, sedangkan istri dan anak perempuan mereka menjaga rumah. Pada malam-malam inilah sangat terasa perlunya memiliki sebuah masjid, tempat warga muslim dapat melakukan shalat berjamaah dengan nikmat. Ketika keinginan untuk membangun sebuah masjid terlontar dari Fairuzzabadi, yang menjadi satu-satunya ustadz saat itu, semua warga jamaah shalat Tarawih menyambut dengan keinginan yang sama. Situasi ekonomi pada saat itu, sayangnya, masih sangat sulit. Semua jamaah yang hadir merupakan pegawai negeri, yang gajinya telah banyak (minimal sepertiga) dipotong bank untuk membayar angsuran rumah dan kebutuhan yang lainnya. Kenyataan itu membuat sebagian warga merasa agak pesimis untuk menjawab pertanyaan sudahkah waktunya kita membentuk panitia pembangunan masjid? Sebagai kesepakatan akhir dari warga yang optimis dan pesimis maka dibuatlah panitia kecil persiapan pembangunan masjid. Sebagai ketuanya dipilih secara in absentia Achmad Gozali (almarhum), dosen STAIN Mataram yang waktu itu sedang belajar S2. Walaupun sudah membeli sebuah rumah di Jl. Pantai Teluk Nara, pada saat itu Achmad Gozali hanya sempat beberapa minggu menjadi penghuni GPI, kemudian berangkat kuliah S2. Fairuzzabadi didaulat menjadi Wakil Ketua yang akan menjalankan tugas sebagai ketua selama Achmad Gozali belum tinggal di GPI. Jamaah shalat Tarawih yang lainnya juga kebagian jabatan kepengurusan, misalnya Anwar, Mustofa, Ta’amin , Wibowo, Imam Bachtiar, Solikhin, Zainal Arifin, Panji Priatna, Saefuddin, dan sejumlah warga lainnya. Walaupun panitia kecil ini sangat sederhana, Anwar yang ditunjuk sebagai bendahara mampu mengumpulkan dana pembangunan masjid sebesar Rp 300 ribu, dari infak seorang hamba Allah di GPI. Pada saat itu, uang tersebut setara dengan gaji pokok sebulan seorang pegawai negeri golongan tiga. Jamaah shalat Tarawih yang pertama ini sangat sedikit. Jamaah shalat semuanya laki-laki, karena saat itu kondisi keamanan masih sangat rawan. Sebagai imam shalat yang utama adalah Fairuzzabadi. Achmad Gazali (alm.) sempat pula beberapa kali menjadi imam shalat sebelum berangkat ke Jakarta untuk kuliah S2. Pernah suatu hari jamaah tarawih hanya tiga orang. Taa’min bertindak sebagai imam shalat, sedangkan Anwar, dan Ram (pemuda Jempong) sebagai makmumnya. Malam itu Fairuzzabadi datang terlambat. Begitu Taa’mim salam menutup shalat, ia melihat Fairuzzabadi di belakang dan langsung tertawa karena sedikitnya jamaah shalat. Pada saat itu, belum ada nama yang muncul untuk dijadikan nama masjid yang akan dibangun kelak. Bagi panitia persiapan pada saat itu yang penting adalah ditetapkannya niat bersama untuk membangun masjid dan mulai melihat peluang-peluang untuk mewujudkan impian tersebut, yaitu sebuah masjid milik warga GPI. Sebagai Ketua RT, Fairuzzabadi mendatangi Kantor Perumnas dan melihat lokasi yang disediakan untuk tempat ibadah. Ada tiga lokasi rumah ibadah yang disediakan oleh pengembangan GPI, Perum Perumnas: 1) di antara Jl. Pantai Tanjung Ringgit dan Jl. Pantai Batu Layar, 2) di Jl. Pantai Kuta, dan 3) di Jl. Pantai Candi Anom. Dari ketiga lokasi tersebut sebagian warga menginginkan lokasi di Jl. Pantai Candi Anom sebagai calon lokasi masjid GPI, walaupun sebagian lainnya memilih lokasi pertama karena sebagian besar warga tinggal dekat dengan lokasi pertama. Pemilihan lokasi di Jl. Pantai Panji Anom didasarkan pada alasan bahwa masjid yang akan dibangun hendaknya menjadi milik seluruh warga GPI dan lokasi tersebut nantinya akan terletak di tengah-tengah kompleks GPI. Setelah bulan Ramadlan berlalu, Fairuzzabadi secara informal mulai melontarkan usulan calon nama masjid di GPI yang membuat semua orang kaget, yaitu masjid ‘Alhamdulillah’. Sebuah calon nama masjid yang sangat unik karena mungkin belum pernah digunakan di Indonesia, atau bahkan mungkin di seluruh muka bumi. Sebagian warga muslim merasa khawatir dengan nama yang kurang lazim tersebut. Dikhawatirkan bahwa penggunaan ‘Alhamdulillah’ sebagai nama masjid merupakan pelanggaran pada aturan agama Islam. Wacana nama masjid ‘Alhamdulillah’ ini terus berlanjut tanpa saingan hingga semester pertama tahun 1997, karena panitia persiapan lebih banyak berkonsentrasi untuk mencari dana pembangunan.

 PEMBENTUKAN PANITIA PEMBANGUNAN MASJID 

 Di dalam pembangunan sebuah masjid, panitia merupakan mesin yang bekerja untuk mewujudkan impian warga menjadi kenyataan, yaitu berdirinya sebuah masjid yang dicita-citakan. Tiidak semua pembangunan masjid memiliki mesin yang bagus. Alhamdulillah, di dalam pembangunan Masjid Al-Achwan Maghfurullah mesin tersebut bekerja dengan sangat baik. Semua jalan menanjak yang ada di depan mata telah mampu dilewati secara hampir sempurna. Harmonisasi semangat antar komponen di dalam mesin tersebut telah terbukti dapat menaklukkan semua tantangan. Harmonisasi komponen di dalam proses pembangunan bahkan lebih baik dibandingkan ketika bangunan fisik masjid sudah menjadi sebuah kenyataan. Harmonisasi di dalam sebuah kepanitian hanya dapat terjadi jika setiap komponen bekerja dengan keikhlasan dan kesabaran. Kedua modal utama tersebut dijumpai sangat besar di dalam panitia pembangunan Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Kehadiran TGH Mustiadi sebagai penasihat spiritual seluruh warga GPI pada saat itu berperan penting untuk menyatukan semua motivasi menjadi sebuah kekuatan besar. Kekuatan cinta untuk memiliki sebuah rumah ibadah, dimana kita dapat bersujud dan berdo’a dengan hikmat dan nikmat ke hadirat Allah SWT. Sebuah rumah ibadah yang Insya Allah akan melindungi anak-anak dan cucu-cucu penerus kita dari erosi mental dan moral yang dibawa oleh peradaban global. Di dalam proses perencanaan dan pembangunan Masjid Al-Achwan Maghfurullah, ada dua periode kepanitiaan yang sebenarnya terdiri dari orang-orang yang sama. Perubahan kepanitiaan tersebut dapat diibaratkan hanya pergantian roda belakang dengan roda depan pada sebuah mobil. Ketika velg roda depan tidak balance maka jalan mobil menjadi terhambat. Karena keempat ban mobil sama bagusnya, maka roda belakang ditukar dengan roda depan sebagai solusinya. Pergantian tersebut adalah pertukaran posisi antara Anwar yang sebelumnya sekretaris dengan Imam Bachtiar yang sebelumnya wakil ketua. Jika semua komponen telah mampu bekerja secara harmonis Insya Allah tujuan yang jauh akan lebih cepat tercapai. a) Panitia pertama (1997) Pada tahun 1997, warga muslim yang menjadi penghuni baru di GPI meningkat dengan pesat. Sebagian. Deretan rumah di Jl. Pantai Sira sudah semakin ramai dengan penghuni baru. Perumahan di Jl. Pantai Gili Meno juga mulai semarak dengan banyak penghuni baru. Perumahan di kedua jjalan tersebut marupakan yang paling tepi pada saat itu, dan yang paling akhir ditinggali oleh pemiliknya. Di bagian lain dari kompleks GPI, warga muslim yang menjadi penghuni sudah banyak. Diperkirakan pada awal tahun 1997 jumlah warga muslim sekitar 40 keluarga, dan meningkat menjadi lebih dari 80 keluarga pada akhir tahun 1997. Di antara para warga muslim penghuni baru yang termasuk dalam gelombang pemukiman kedua, sebagian mempunyai peran penting di dalam proses pembangunan masjid di GPI. Warga muslim gelombang kedua yang berpartisipasi dalam panitia pembangunan masjid tersebut meliputi Syarifuddin, Suhardi Andung (almarhum), Slamet Mawardi, Lalu Darmawan, Zainal, dokter Triadi, Umar, Shohib, Sadio, Eddy Sophian, Haruman Taufik, U’us, Chamim Tohari dan sebagainya. Ada kebiasaan yang unik di dalam lingkungan GPI yang masih dalam administrasi satu RT pada saat itu. Rapat pertemuan RT dilakukan setiap bulan, yang ditetapkan pada setiap malam bulan purnama. Rapat RT biasanya dilakukan di berugak Jl. Pantai Tanjung Ringgit atau di tengah lapangan di dekatnya. Pemilihan bulan purnama sebagai waktu rapat RT bukan disebabkan karena kurangnya penerangan jalan. Lapangan tersebut dikelilingi oleh empat lampu penerangan jalan yang sangat terang. Pemilihan bulan purnama tersebut lebih disebabkan oleh keunikan pribadi Ketua RT saat itu, Fairuzzabadi, dan kemudahan mengingat kapan rapat RT perlu dilakukan. Begitu melihat bulan purnama, warga langsung ingat bahwa malam itu ada rapat RT. Bertambahnya warga di GPI membutuhkan pelayanan administratif warga yang lebih banyak, sehingga diperlukan pemekaran RT. Pada pertengahan tahun 1997, warga GPI membentuk RT (rukun tetangga) baru, RT 02, yang meliputi seluruh warga di sebelah barat Jl. Pantai Sira. Ketua RT 02 yang pertama adalah Mustofa, sedangkan Ketua RT 01 masih dipegang Fairuzzabadi. Hubungan warga di kedua RT tersebut masih belum banyak berubah dari sebelumnya. Jadwal ronda juga belum dipisahkan. Rapat-rapat yang menghadirkan warga kedua RT dapat diundang oleh salah seorang Ketua RT saja. Pada tanggal 4 September 1997 (2 Jumadil awwal 1418 H), atas nama pengurus kedua RT (01 dan 02) Mustofa mengundang seluruh warga muslim GPI untuk rapat pembentukan panitia pembangunan masjid. Pada malam itu, warga muslim GPI memiliki sebuah panitia pembangunan masjid untuk pertama kalinya. Panitia tersebut diketuai oleh Syarifuddin, dengan wakil Imam Bachtiar. Sebagai sekretaris panitia adalah Anwar, sedangkan bendahara dipegang oleh Slamet Mawardi. Ketua RT 01 dan RT 02 sebagai pelindung panitia pembangunan masjid. Dokumen atau catatan tertulis tentang susunan panitia yang pertama ini tidak dapat ditemukan, tetapi pada dasarnya sangat mirip dengan panitia pembangunan yang kedua. Panitia pembangunan yang pertama ini mempunyai tugas untuk menyelesaikan urusan administrative pembangunan masjid dan mencari dana pembangunan. Dari sekitar tiga kali rapat di sebuah berugak di Jl. Pantai Tanjung Ringgit, telah dapat diputuskan calon lokasi masjid dan nama masjid yang akan dibangun. Lokasi masjid yang sebelumnya disepakati di Jl. Pantai Tanjung Anom, semakin diperkuat oleh sejumlah warga baru yang mulai mengisi kompleks perumahan GPI. Penentuan nama masjid dilakukan secara voting. Ada tiga nama masjid yang diusulkan yaitu ‘Alhamdulillah’, ‘At-Taqwa’ dan ‘Al-Maghfirah’. Dari rapat pleno warga muslim memutuskan bahwa nama masjid ‘Al-Maghfirah’ sebagai nama masjid di GPI. Nama tersebut merupakan usulan dari Suhardi Andung (almarhum). Penggalangan dana dari warga GPI ditetapkan mulai berlaku pada bulan berikutnya, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Suhardi Andung. Proses penentuan nama masjid bukanlah urusan yang mudah bagi warga GPI. Warga menginginkan sebuah nama yang special yang diharapkan belum digunakan oleh masjid yang lainnya. Dari ribuan masjid yang dikenal oleh warga, ternyata mencari nama special tersebut tidaklah mudah. Sejak awal Fairuzzabadi, yang banyak dikenal dengan ide unik Abu Macel (TVRI NTB), sudah mempromosikan nama ‘Alhamdulillah’ sebagai calon nama masjid di GPI. Nama masjid ‘Alhamdulillah’ memang tampaknya belum pernah digunakan orang, tetapi sebagian orang khawatir apakah penggunaan nama tersebut akan menyalahi aturan di dalam agama Islam. Walaupun Fairuzzabadi yang juga seorang ustadz di Pondok Pesantren Darul Falah menyatakan bahwa penggunaan nama unik masjid tidak menyalahi aturan Islam, tetapi sebagian warga muslim masih belum terbiasa dengan sesuatu yang sama sekali baru. Pada rapat terakhir penentuan nama masjid, Suhardi Andung (alm) mengusulkan nama masjid ‘Al-Maghfirah’. Disamping kedua nama tersebut juga muncul nama masjid ‘At-Taqwa’ yang diusulkan oleh Lalu Ridwan. Ketika ketiga nama tersebut dilontarkan di dalam rapat untuk disepakati, warga muslim yang hadir di dalam rapat memutuskan memilih nama masjid ‘Al-Maghfirah’. Penggalangan dana dari warga GPI juga merupakan tugas yang sangat sulit. Rapat tanggal 4 September 1997, memutuskan bahwa sumbangan warga untuk masjid akan dilakukan dengan kunjungan pemungut (kolektor) dari pintu ke pintu setiap tanggal 10 mulai Oktober 1997. Suhardi Andung bertanggungjawab sebagai kolektor di RT 01 sedangkan Mustofa bertanggungjawab di RT 02. Di antara sejumlah warga yang pernah mencoba melakukannya, hanya Suhardi Andung yang memiliki ketekunan dan kesabaran dalam mengumpulkan uang sumbangan tersebut. Suhardi Andung juga menjadi pemungut yang paling produktif. Pada akhirnya, Suhardi Andung yang bertanggungjawab memungut sumbangan untuk masjid baik di RT 01 maupun RT 02. Sebagian warga yang lain pernah mencoba menjadi pemungut sumbangan masjid, tetapi tidak menghasilkan dana yang berarti dan tidak tahan menghadapi warga yang berusaha menghindar dari pembayaran sumbangan masjid. Slamet Mawardi, Imam Bachtiar dan Ta’amim pernah bertiga mencari sumbangan untuk masjid dari sore hingga malam hari hanya memperoleh sumbangan dari dua warga. Kejadian yang hampir sama juga dialami oleh warga yang lain, misalnya Mustofa dan Umar yang menjabat ketua dan bendahara di RT 02. Sumbangan warga untuk masjid berkisar antara Rp 500 hingga Rp 20 ribu, pada saat itu. Warga yang menjadi panitia diharapkan dapat memberikan sumbangan masjid lebih banyak daripada warga yang lainnya. Kecilnya dana yang dapat dikumpulkan dari warga GPI menimbulkan rasa pesimistis pada sebagian warga. Kapankah sebuah masjid dapat terbangun jika hanya mengandalkan dana dari warga GPI saja? Agar tujuan pembangunan masjid dapat lebih cepat tercapai, panitia melakukan perombakan susunan panitia untuk meningkatkan efisiensi kerja. Di dalam periode ini, sebuah majlis taklim dibentuk oleh Mustofa pada bulan Agustus 1997. Majlis taklim tersebut dilaksanakan setiap Kamis malam dengan acara pembacaan Surah Yaasiin dan kuliah tujuh menit (kultum). Majlis yang dikenal dengan kelompok yaasinan ini turut melengkapi perjalanan warga di dalam membangun masjid di GPI. Di dalam kelompok ini masalah-masalah pembangunan masjid sering didiskusikan, termasuk juga masalah sosial dan politik. Majlis ini telah banyak berperan di dalam memelihara dan meningkatkan keimanan warga GPI, sehingga semangat membangun dan memakmurkan masjid dapat terpelihara. Secara umum, panitia pembangunan masjid yang pertama ini telah berhasil mempersiapkan persyaratan administrative pembangunan masjid di GPI, baik permintaan ijin ke Perum Perumnas sebagai pengembang, maupun ke Kantor Departemen Agama Kotamadya Mataram. Penggalangan dana dari luar GPI belum dapat dilakukan karena belum ada gambar rencana bangunan masjid dan anggaran biayanya. b) Panitia kedua (1997-1998) Pada bulan Desember tahun 1997, panitia pembangunan masjid tersebut mengalami perombakan. Panitia pembangunan masjid tetap dipimpin oleh Syarifuddin sebagai ketua dan Slamet Mawardi sebagai bendahara, sedangkan sebagai sekretaris ditunjuk Imam Bachtiar yang pada panitia sebelumnya sebagai wakil ketua. Pada kepanitiaan yang kedua ini, misi utamanya adalah mencari dana untuk pembangunan masjid. Sebagai kelengkapan dari upaya pencarian dana adalah gambar masjid yang akan dibangun dan rencana anggaran biayanya. Kedua hal tersebut dipersiapkan oleh Eddy Sophian, warga Jl. Pantai Tanjung Ringgit. Gambar masjid direncanakan berukuran 10x10, berlantai dua, dengan luas lantai keseluruhan 200 m2. Rencana anggara biaya untuk membangun masjid tersebut Rp 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Pembangunan tersebut rencananya akan dilakukan dalam lima tahapan. Pembiayaan pembangunan masjid diharapkan berasal dari swadaya warga muslim GPI, sumbangan dari lembaga/instansi pemerintah maupun swasta, dan sumbangan-sumbangan lain yang tidak mengikat. Angka anggaran belanja pembangunan masjid tersebut terasa sangat besar, mengingat sumbangan bulanan yang dapat diperoleh dari warga GPI sekitar Rp 200-300 ribu. Hal ini berarti kita harus menunggu 15-20 tahun untuk memiliki sebuah masjid di GPI. Karena itu, penggalangan dana dari luar GPI harus menjadi prioritas utama. Penggalangan dana dari luar GPI dilakukan dengan menyebarkan surat permohonan bantuan kepada orang-orang yang potensial menjadi penyumbang (donator). Jika calon donator berada di Kota Mataram, maka panitia mendatangi langsung calon donator tersebut. Jika calon donator di luar Pulau Lombok, maka panitia berkirim surat yang berisi surat permintaan bantuan, rencana gambar masjid, rencana anggaran biaya, dan susunan panitianya. Untuk mempercepat penggalangan dana, panitia mengirim banyak proposal kepada kenalan dan pejabat yang terkait dengan pembangunan GPI. Panitia juga menghimbau kepada warga jika memiliki kenalan yang potensial menyumbang masjid, maka panitia minta alamatnya dan akan mengirimkan proposal kepada yang bersangkutan. Disamping itu, panitia juga menyediakan proposal permintaan sumbangan masjid bagi siapa saja yang membutuhkannya. Dengan cara ini, banyak proposal terkirim kepada calon donator di luar GPI. Ada cara yang kurang lazim yang dilakukan oleh panitia masjid saat itu untuk mencari dana. Panitia berkirim surat kepada puluhan (sekitar 60-70 alamat) Kepala Kantor Pos, yang hampir semuanya tidak dikenal, yang tersebar dari Pulau Sumatra hingga Pulau Papua. Ternyata cara yang kurang lazim ini tidak mendatangkan dana sebanyak yang diperkirakan. Ibaratnya menebar biji jagung di sembarang tempat. Ada yang tumbuh dan menghasilkan bulir, tetapi sebagian besar tidak dapat tumbuh. Walaupun demikian, jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan dengan dana yang didapat, masih jauh lebih besar dana yang diperoleh dengan cara tidak lazim ini. Sebagian besar dana dari luar Pulau Lombok diperoleh dari orang-orang yang sudah dikenal secara pribadi oleh panitia. Penyebaran proposal secara acak kepada puluhan Kepala Kantor Pos tersebut memang dilakukan berdasarkan lokasi kabupaten. Panitia memperkirakan bahwa di kabupaten yang mayoritas penduduknya muslim mempunyai Kepala Kantor Pos yang muslim pula. Asumsi yang tidak kuat ini ternyata memang seyogyannya tidak digunakan. Suatu hari panitia menerima sebuah surat balasan dari proposal yang terkirim tersebut yang menyatakan: “Maaf, saya seorang Kristiani”. Sejak itu panitia tidak pernah mengirim proposal pada alamat yang acak lagi. Pada bulan Ramadlan tahun 1997, warga muslim GPI yang sudah lebih dari 80 keluarga berkumpul kembali untuk shalat Tarawih bersama di sebuah rumah di Jl. Pantai Sira 22. Pada saat itu, rumah tersebut sudah dimiliki oleh keluarga Suhardi Andung. Seluruh ruangan dipenuhi oleh jamaah shalat, sehingga dibutuhkan terpal untuk memberi tempat bagi jamaah wanita di belakang rumah. Pada kebanyakan kesempatan sebagai imam shalat adalah Fairuzzabadi, Lalu Darmawan dan Sohib; sedangkan sebagai muadzin adalah Taa’mim dan Umar. Dalam beberapa kesempatan imam dan muazin digantikan oleh warga yang lain, ketika keempat warga tersebut berhalangan hadir. Pada kegiatan shalat Tarawih berjamaah tahun 1997 sudah mulai dijadwalkan kuliah tujuh menit setelah shalat ‘Isya. Shalat Tarawih dilakukan dalam delapan rakaat dan 20 rakaat. Sejak awal warga muslim GPI menginginkan persatuan di dalam kerberagaman ibadah yang bersifat khilafiyah. Setelah bulan Ramdahan berlalu, rumah yang telah digunakan shalat Tarawih selama sebulan tersebut tetap berfungsi sebagai mushalla yang digunakan untuk shalat berjamaah lima waktu oleh warga di sekitarnya, terutama shalat-shalat ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya. Warga muslim GPI melaksanakan shalat Jum’at di berbagai masjid di sekitar GPI, misalnya Masjid Al-Hamidy di Peresak, Masjid …………... di kompleks Bumi Pagutan Permai dan Masjid ………..….. di Jempong. Pada tahun 1998, sekitar 10 orang yang sering shalat Jum’at di masjid Al-Hamidy berinisiatif untuk belajar islam di Pondok Pesantren Darul Falah. Setiap Jum’at siang, mereka pergi ke pondok dan mendapat pengajaran langsung dari TGH Mustiadi. Para warga tersebut di antaranya Umar, Lalu Darmawan, Slamet Mawardi, Anwar, Ta’amim, Fairuzzabadi, Suhardi Andung, dan Imam Bachtiar. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa bulan. Umar dan Lalu Darmawan merupakan santri yang paling sering mengaji di pondok tersebut, sehingga sempat dibai’at untuk belajar tarekat.

 PELETAKAN BATU PERTAMA 

 Bencana dan karunia pada dasarnya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Pada setiap kejadian, kita dapat melihatnya dari kedua sisi tersebut. Sisi yang satu disebut bencana atau musibah, sedangkan sisi lainnya disebut karunia atau hikmah. Bagi orang yang pandai memetik hikmah, setiap kejadian yang datang adalah karunia yang selalu dapat disyukurinya. Pada skala individu hal ini lebih mudah dilakukan daripada pada skala masyarakat, karena kebaragaman anggota masyarakat. Walaupun demikian, setiap musibah pada suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai motivasi untuk berjuang lebih keras lagi. Pembangunan masjid di GPI juga berkaitan dengan musibah yang membawa hikmah. Pada awal tahun 1998, terjadi musibah kematian warga muslim yang pertama di GPI, yaitu Ibu Bambang. Karena belum ada masjid di dalam GPI, maka jenazah rencananya akan dishalatkan di sebuah masjid yang terdekat di luar GPI. Di luar dugaan, jenazah tersebut tidak diperkenankan oleh pengurus masjid untuk dishalatkan di sana. Warga GPI tidak menjadi anggota lingkungan atau banjar dari masyarakat di sekitar masjid tersebut, sehingga rencana shalat jenazah di masjid tersebut tidak boleh dilakukan. Peristiwa yang membawa keprihatinan bagi warga GPI ini telah memberikan hikmah yang besar, yang memberikan kekuatan dan tekat besar untuk segera memiliki masjid sendiri. Pada rapat hari Rabu, tanggal 1 April 1998 (3 Dzulhijjah 1418 H), panitia memutuskan untuk segera memulai pembangunan masjid. Pada saat itu dana pembangunan yang terkumpul berjumlah sekitar Rp 7,8 juta, dengan pemasukan dari sumbangan warga bulanan sekitar Rp 300 ribu. Di dalam rapat tersebut diputuskan bahwa panitia akan segera mempersiapkan undangan dan upacara peletakan batu pertama. Di dalam rapat disepakati bahwa peletakan batu pertama akan dilaksanakan pada tanggal 7 April 1998, bertepatan dengan lebaran Idul Ad’ha. Untuk mempersiapkan acara tersebut akan dilakukan penggalian lubang pada hari minggu pagi, tanggal 5 April 1998. Persiapan penggalian lubang dilakukan sejak hari Kamis, 2 April 1998. Karena petugas penentu arah kiblat tidak dapat hadir untuk membantu warga GPI dalam minggu tersebut, maka penentuan arah kiblat dilakukan bersama-sama oleh Sadio, Edy Sophiaan, Fairuzzabadi dan warga yang lainnya berdasarkan buku Petunjuk Penentuan Arah Kiblat milik Mustofa (Ketua RT 02). Pada sore hari, benang-benang dan patok penanda calon lokasi masjid sudah terpasang. Surat undangan juga sudah tercetak untuk difotokopi dan ditandatangani. Panitia mengundang TGH Mustiadi, Camat Ampenan, Kepala Lurah Pagutan, Kepala Lingkungan Peresak Timur, dan Kepala Lingkungan Jempong. Karena Camat Ampenan sedang dalam proses pergantian, maka pengiriman surat undangan untuk camat mengalami penundaan. Camat Ampenan yang baru, Suchrowardi, dilantik pada tanggal 4 April 1997 atau tiga hari sebelum peletakan batu pertama. Pada hari Jum’at pagi, jamaah shalat Subuh di mushalla Jl. Pantai Sira 20, yaitu Anwar, Taa’mim, Suhardi Andung, Slamet Mawardi, Lalu Darmawan dan dokter Triadi, pergi ke lokasi calon masjid setelah shalat berjamaah di mushalla Jl. Pantai Sira 22. Mereka ingin memulai penggalian lubang sepagi mungkin, dengan berbekal cangkul dari Suhardi Andung dan lampu penerangan dari Lalu darmawan. Warga GPI yang pertama kali mencangkul lubang pondasi masjid adalah Anwar, yang kemudian diikuti oleh kelima warga di dalam rombongan Jum’at pagi tersebut. Sayangnya cara mencangkul Anwar menyebabkan putusnya benang-benang di sekitar lubang pondasi yang digunakan dalam setting lokasi masjid. Putusnya benang-benang tersebut menimbulkan ‘pertengkaran kecil’ di antara jamaah shalat Subuh tersebut, terutama antara Suhardi Andung dengan Anwar. Untungnya Suhardi Andung dapat memperbaiki posisi benang-benang yang putus pada pagi hari itu juga. Pada hari Jum’at tersebut tiga orang panitia, yaitu Fairuzzabadi, Slamet Mawardi dan Imam Bachtiar, menemui Bapak Syarifuddin di kantor Perum Perumnas. Tim tiga ini meminta ijin untuk segera membangun masjid dengan peletakan batu pertama pada haris Selasa. Pada saat itu surat ijin tertulis dari Perum Perumnas belum ada. Sulitnya pengeluaran ijin tertulis karena panitia menginginkan adanya perubahan pembagian tanah di calon lokasi masjid. Pembagian bidang tanah yang di dalam site plan ke arah utara selatan ingin diubah panitia menjadi kea rah timur barat. Perubahan tersebut tidak dapat diputuskan oleh Kantor Perumnas Mataram karena merupakan kewenangan Kantor Cabang di Surabaya. Setelah empat bulan berlalu, ternyata surat dari Kantor Perumnas Surabaya tidak kunjung tiba. Karena itu, panitia pada hari itu meminta persetujuan lisan dari Perumnas untuk melakukan peletakan batu pertama dengan pembagian tanah ke arah barat-timur. Pada hari Minggu pagi, warga muslim GPI bergotong-royong mencangkul untuk penggalian tanah tempat pondasi. Penggalian tanah bukan pekerjaan yang mudah bagi warga GPI yang sebagian besar pekerja kantor atau guru. Karena itu beberapa penggali sumur dari Jempong juga dikerahkan untuk mempersiapkan lubang pondasi masjid. Pada hari itu juga, spanduk yang mengabarkan akan dilakukannya peletakan batu pertama pembangunan masjid dipasang. Gotong-royong dalam rangka pembangunan masjid yang pertama ini sangat ramai. Hampir seluruh warga muslim GPI datang dan turut bekerja. Pada hari Selasa, 9 Dzul-Hijjah 1418 H atau 7 April 1998, warga bergotong royong membuat tenda dari terpal setelah shalat ‘Idul Adha. Terpal besar disediakan oleh Sri dan Mulyono, yang tinggal di Jl. Pantai Gili Meno. Sedangkan kayu dan tali disediakan oleh warga yang lainnya. Pada acara gotong-royong pagi hari itu, panitia baru menyadari bahwa tanggal hijriyah di dalam spanduk salah, seharusnya tertulis 9 Dzul-Hijjah tetapi tertulis 10 Dzul-Hijjah. Kesalahan penulisan tanggal tersebut dikoreksi dengan menempelkan kertas putih bertuliskan angka 9 pada angka 10 pada spanduk yang berwarna hijau tersebut. Peletakan batu pertama pondasi masjid berlangsung dengan sangat baik. Seluruh warga muslim GPI hadir dalam acara tersebut. Suasana yang gembira dan khidmat sangat tampak pada wajah warga muslim GPI. Lepas shalat ‘Ashar, para undangan sudah mulai datang ke lokasi pendirian masjid, walaupun kondisi cuaca sedang gerimis. Undangan lain yang hadir pada acara tersebut adalah H. Hamdi sebagai Kepala Lingkungan Jempong, Syaiful Hidayat dari Perumnas Mataram, dan Lalu Muchlis dari Kantor Kecamatan Ampenan. Acara yang dipandu oleh Umar, dimulai dengan sambutan Ketua Panitia, sambutan Camat dan tauziah dari TGH Mustiadi, pimpinan Pondok Pesantren Darul Falah. Lokasi Masjid Al Maghfirah memang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Ponpes Darul Falah. Berdasarkan pengamatan satelit dari Google-earth posisi geografis masjid Al-Maghfirah adalah 8O36’39,48”Lintang Selatan dan 116O06’18,43” Bujur Timur. Gambar … Foto satelit masjid Al-Achwan (tanda MA) dari Google-earth dari ketinggian 445 meter (1377 feet) pada bulan April 2009. Posisi masjid terletak hampir di tengah-tengah kompleks perumahan. Di dalam sambutannya Camat Sachruwardi menjelaskan kedudukannya sebagai camat yang baru dilantik empat hari yang lalu. Beliau mohon maaf jika tidak dapat memberikan sumbangan materi sebanyak yang diinginkannya untuk pembangunan masjid ini. Walaupun demikian, beliau akan menyerahkan sebuah amplop berisi uang yang disediakan oleh istrinya sebelum berangkat. Semoga sumbangan yang ikhlas tersebut dapat diikuti oleh para donator lainnya. Di dalam tauziahnya, TGH Mustiadi memotivasi warga muslim untuk bekerja keras mendirikan masjid yang akan dibangun. Disamping itu, TGH Mustiadi juga berpesan secara berkelakar di dalam pidatonya: “Jangan merusak sabuk saya”, yang berarti bahwa warga GPI harus optimis dan bekerja keras agar masjid tersebut dapat segera terwujud. Jika masjid tersebut nantinya tidak juga segera terwujud maka TGH Mustiadi akan merasa malu atau sabuk hajinya rusak. Pesan ini merupakan motivasi tambahan bagi warga GPI untuk mengerahkan semua upaya membangun masjid. Menimpali kegelisahan yang dilontarkan oleh camat, TGH Mustiadi mengatakan di dalam tauziahnya: ‘Saya tidak punya uang tetapi saya punya do’a”. Beliau kemudian mengajak warga untuk bersama-sama membaca surat Al-Insyiriah bersama-sama, agar Allah membantu upaya warga untuk memiliki sebuah masjid. Acara peletakan batu pertama dilanjutkan dengan makan masakan kambing bersama. Hari itu dapat dianggap sebagai hari pertama warga GPI melakukan qurban. Tiga ekor kambing dimasak oleh ibu-ibu sejak pagi harinya. Ketiga ekor kambing tersebut adalah seekor merupakan urunan kelompok pengajian Yasiin, dua ekor lainnya merupakan qurban dari keluarga Suhardi Andung dan Imam Bachtiar. Acara makan bersama tersebut dilakukan di depan rumah Suhardi Andung, Jl. Pantai Sira 20. Hari Minggu berikutnya, warga bergotong-royong lagi melakukan pengecoran pada lubang-lubang pondasi masjid yang lainnya. Kegembiraan dan kekompakan dalam gotong royong tersebut hanya dapat digambarkan di dalam hati para pelakunya. Sangat sulit untuk menggambarkan dengan kalimat, bagaimana antusiasme warga muslim GPI yang melihat mimpinya hampir menjadi kenyataan. Warga laki-laki datang dengan membawa peralatan kerja konstruksi, misalnya cangkul, serok, dan ember. Sadio membawa mesin pengaduk material beton, yang asapnya tampak sangat indah. Ibu-ibu juga tidak mau kalah, mereka datang ke lokasi dengan membawa beragam makanan dan minuman. Peristiwa seindah ini sungguh hanya dapat terjadi sekali dalam kehidupan bermasyarakat di GPI. Pondasi masjid yang dibangun pada tahap pertama ini berukuran 10x10 m. Pembanguna slope yang menghubungkan antar lubang pondasi dilakukan oleh tukang. Tinggi pondasi bangunan masjid sekitar satu meter dari permukaan tanah. Pondasi masjid tidak dapat dibuat untuk desain dua lantai sebagaimana rencana awal. Sulitnya mencari dana pembangunan merupakan alasan utama sehingga gambar masjid yang ada di proposal tidak lagi dapat dipedomani. Masjid yang akan dibangun didesain untuk satu lantai saja. Pembangunan pondasi masjid tersebut menelan biaya sekitar Rp 4,3 juta. Setelah pondasi terbangun, kemudian dilakukan pengurugan tanah di sebidang tanah ukuran 10x10 meter tersebut. Sadio menyediakan truk dan tanah sedangkan warga lagi-lagi bergotongroyong untuk meratakannya. Pekerjaan gotong-royong ini merupakan perekat dari semua warga muslim GPI bahwa masjid di GPI milik bersama semua warga GPI dan untuk dapat digunakan oleh seluruh warga. Pada saat itu, penggalangan dana pembangunan dari dalam dan luar GPI terus berjalan. Pencarian dana dari luar GPI bahkan dilakukan semakin gencar. Suhardi Andung berhasil mendapatkan banyak dana dari Telkom dan para pengusaha asal Sulawesi Selatan dan Sumbawa. Proposal ke Gubernur NTB saat itu, Harun Alrasyid, sayangnya menemui hambatan sehingga proposal tidak pernah sampai ke tangan beliau. Anwar dan Taa’mim yang mendapat tugas tersebut telah mencoba untuk bertemu gubernur di kediaman resminya. Sayangnya upaya tersebut gagal karena ada kegiatan tidak terjadwal yang membuat gubernur pergi ke Senggigi meninggalkan mereka berdua yang sedang menunggu. Setelah peristiwa tersebut mereka tidak pernah mencobanya lagi

 MASUKNYA WAKAF KELUARGA H.M. ACHWAN

 Rejeki yang diberikan Allah tidak dapat dihitung secara matematis. Jika seorang mau bekerja keras dan tidak berputus harap atas kemurahan-Nya, maka Allah akan memberikan rejeki dengan cara yang tak disangka-sangka. Di dalam pembangunan pondasi tersebut, seluruh dana pembangunan telah terkuras habis. Beberapa bulan kemudian kegiatan pembangunan masjid berhenti. Dalam masa istirahat ini, panitia bekerja lebih keras untuk mendapatkan dana tambahan untuk rencana pembangunan tahap berikutnya. Banyak dana yang masuk tetapi belum cukup untuk melakukan satu tahapan setelah pondasi. Penyebaran proposal pembangunan masjid semakin diperluas untuk di kawasan Pulau Lombok. Salah satu penerima surat permintaan bantuan tersebut adalah Keluarga H. M. Achwan (almarhum), di Jl. Pancaka, Kelurahan Gomong, Mataram. H.M. Achwan adalah mantan Kabid Dikmenum Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTB, yang wafat pada tahun 1997. Sebelum wafat almarhum mempunyai niat untuk membangun sebuah masjid yang akan diberinya nama Masjid Al-Achwan. Walaupun almarhum sudah memiliki tanah wakaf yang luas untuk masjid dan sekolah di suatu tempat, tetapi membangun masjid bukanlah sesuatu yang mudah. Di Pulau Lombok, setiap kampung atau bahkan tingkat lingkungan sudah memiliki minimal sebuah masjid. Karena itu, pembangunan masjid baru tidak dapat dilakukan dengan mudah, sehingga niat membangun masjid tersebut belum terlaksana hingga beliau wafat. Di GPI, almarhum H.M. Achwan memiliki seorang keponakan Ani Mariani, yang menjadi istri Imam Bachtiar, di Jl. Pantai Sira 18. Ketika proposal datang, ahli waris Keluarga H.M. Achwan sedang mencari tempat untuk wakaf sebuah masjid dengan nama Masjid Al-Achwan. Karena itulah Ny. Hj. Dewi Achwan segera menghubungi keponakannya, Imam Bachtiar, yang tinggal di GPI. Keluarga H.M. Ahwan sebenarnya menginginkan wakaf tanah sekaligus bangunan masjid. Tetapi hal itu tidak dapat dilakukan di GPI, karena tanah yang akan digunakan adalah tanah untuk fasilitas umum. Karena itu, Imam Bachtiar, Suhardi Andung dan warga GPI lainnya harus meyakinkan Ny. Hj. Dewi Achwan bahwa tanah untuk masjid di GPI tidak akan diganggu-gugat baik oleh warga GPI maupun oleh Perum Perumnas. Keinginan Keluarga H.M. Achwan untuk membangun masjid di GPI yang memang sedang membutuhkannya semestinya sangat mudah. Ibaratnya ada pemberi dan ada penerima wakaf masjid yang tepat. Tetapi keinginan pemberian nama masjid yang berbeda dikhawatirkan menjadi masalah bagi warga GPI. Warga muslim GPI telah mempunyai nama masjid “Al-Maghfirah”, sedangkan Keluarga H.M. Achwan menginginkan nama masjid “Al-Achwan”. Jika nama masjid ‘Al-Achwan’ dipaksakan, dikhawatirkan sebagian warga menjadi berkurang dukungannya sehingga masjid yang terbangun tidak dapat ‘dimiliki’ oleh warga muslim GPI. Rasa memiliki masjid merupakan komponen yang sangat penting di dalam pandangan panitia pembangunan. Jika masjid terbangun tetapi warga muslim enggan memakmurkannya, akan menjadi masalah yang berkepanjangan di kemudian hari. Panitia pembangunan masjid mengadakan rapat umum, di Jl. Pantai Sira 22, yang mengundang semua Ketua RT. Pada saat rapat tersebut, panitia mencoba mencari sejumlah opsi berupa penawaran yang akan diajukan kepada Keluarga H.M. Achwan karena berapa besar dana yang akan diwakafkan oleh Keluarga H.M. Achwan juga belum jelas pada malam itu. Rapat tersebut memutuskan untuk memberi sejumlah alternatif penggunaan nama “Achwan” berdasarkan jumlah dana yang akan disumbangkannya. Jika seluruh masjid akan dibangun, maka masjid tersebut dapat diberi nama Al-Achwan, sedangkan nama-nama lembaga pendidikan di masjid akan menggunakan nama Al-Maghfirah, misalnya TPQ Al-Maghfirah. Besoknya Imam Bachtiar membawa informasi yang lebih jelas, bahwa keluarga H.M. Achwan ingin mewakafkan sebuah masjid utuh dengan nama Al-Achwan. Walaupun keinginan tersebut tidak bertentangan dengan hasil rapat, tetapi sebagian warga masih tidak mau kehilangan nama Al-Maghfirah yang telah menjadi bagian sejarah dari warga GPI. Di dalam rapat terbatas dan mendesak di berugak, yang terletak di pojok lapangan Jl. Pantai Sira, pada suatu malam habis shalat ‘Isya, panitia mencoba member alternatif untuk kompromi. Nama masjid akan diberi nama Al-Achwan Maghfurullah dengan kompensasi bahwa semua unit kegiatan di dalam masjid diberi nama Al-Achwan Maghfurullah. Rapat mendadak di berugak ini dihadiri oleh Fairuzzabadi, Imam Bachtiar, Suhardi Andung, Umar, Zainal, Lalu Darmawan dan Slamet Mawardi. Agar Keluarga H.M. Achwan tetap mau menggunakan nama belakang Maghfurullah maka panitia mencoba memberikan penjelasan yang akan disampaikan melalui Imam Bachtiar. Kata ‘Maghfurullah’ diambil dari nama ‘Al-Maghfirah” sebagai jejak sejarah keinginan warga muslim GPI. Kata ‘Maghfurullah’ sekaligus juga sebagai do’a dan penghormatan bagi almarhum H.M. Achwan yang semasa hidupnya ingin mewakafkan sebuah masjid. Umar bahkan sempat mengatakan jikasaja negosiasi nama ini sulit tercapai, kita dapat menawarkan ukuran besar nama yang tidak sama, seperti tulisan di bungkus rokok Gudang Garam Internasional. ‘Gudang Garam’ ditulis dengan ukuran yang lebih besar daripada ukuran tulisan ‘Internasional’. Umar mengatakan bahwa warga rela tulisan ‘Al-Achwan’ ukurannya lebih besar daripada tulisan ‘Maghfurullah’ , yang penting sejarah masjid bernama Al-Maghfirah yang menjadi simbol semangat warga GPI tidak hilang begitu saja. Upaya-upaya tersebut, Alhamdulillah, dapat berhasil. Keluarga H.M. Achwan dengan ikhlas bersedia menerima nama ‘Al-Achwan Maghfurullah’ tanpa harus membedakan ukuran huruf tulisannya. Peristiwa ini memberikan pelajaran bahwa segala upaya harus tetap dilakukan untuk mempertahankan sesuatu yang kita anggap layak dipertahankan. Pemberian nama bukanlah urusan yang sederhana, tetapi merupakan jejak sejarah yang tidak mudah ketika kita sedang melaluinya. Pada saat itu, kompleks perumahan GPI bukanlah satu-satunya di kompleks perumahan yang memiliki masalah dana pembangunan masjid. Masih banyak kompleks perumahan lain yang juga membutuhkan masjid tetapi tidak mempunyai dana pembangunan, misalnya Telagawaru dan Mavilla. Lokasi-lokasi tersebut merupakan pesaing dari kompleks GPI dalam memperebutkan wakaf masjid yang sedang dibawa oleh Keluarga H.M. Achwan. Apalagi pada kuartal terakhir tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang sangat buruk sehingga nilai tukar rupiah terhadap dollar menurun 700%. Penurunan nilai rupiah terhadap dollar juga sangat mempengaruhi harga bahan bangunan dan daya beli masyarakat. Dalam kondisi seperti itu sangat sulit untuk mencari sumbangan dari para dermawan yang menjadi donator, apalagi menemukan dermawan yang akan mewakafkan sebuah masjid. Pada saat itu, Masjid Al-Maghfirah di Kompleks GPI masih berupa pondasi bangunan dengan tiang-tiang utama. Ukuran pondasi tersebut 10x10 meter yang merupakan pondasi bangunan utama. Ibarat mendapat durian runtuh, pada bulan Rajab 1419 H atau Nopember 1998, kompleks perumahan GPI dipilih oleh Keluarga H.M. Achwan untuk menerima wakaf sebuah masjid. Desain arsitektur masjid dibuat ulang oleh Ir. Umar Haq, pemilik perusahaan konsultan C.V. Bina Cipta. Masjid akan dibuat satu lantai dengan luas 15x15 meter, karena pondasi yang telah tertanam untuk bangunan satu lantai. Semua kebutuhan masjid juga akan ditentukan oleh Umar Haq. Warga GPI yang memiliki waktu dan pengetahuan di bidang konstruksi, Suhardi Andung (almarhum), menyediakan waktu dan tenaganya untuk menterjemahkan keinginan Ny. Hj. Dewi Achwan ke dalam konstruksi masjid yang sedang dalam tahap pembangunan. Suhardi Andung (almarhum) memang menyatakan merasa menjadi orang yang paling bahagia dengan masuknya wakaf keluarga H.M. Achwan. Walaupun ia masih rajin memungut sumbangan warga, dari pintu ke pintu, ratusan rumah, setiap bulan; tetapi ia tidak lagi membayangkan akan melakukan pekerjaan yang sulit dan butuh kesabaran itu puluhan tahun. Bagi Suhardi Andung yang mengusulkan nama “Al-Maghfirah” , ia rela nama masjid diganti dengan apa saja asalkan baik dan disepakati warga; asalkan masjid di GPI segera menjadi kenyataan.

 PELAKSANAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI MASJID

Proses pengerjaan pembangunan masjid diserahkan kepada Sadio, yang juga warga GPI, di Jl. Pantai Teluk Nara. Sebenarnya Hj. Dewi Achwan hanya ingin mempercayakan proses pembangunan kepada H. Umar Haq. Tetapi Umar Haq juga sedang sibuk dengan pekerjaan yang terlanjur ditanganinya, sehingga pelaksanaan pembangunan tertunda beberapa bulan dan kurang lancar. Ketika Sadio menawarkan diri untuk membantu pelaksanaan pekerjaan pembangunan masjid, Umar Haq dapat menyetujuinya setelah mengetahui bahwa Sadio adalah adik kandung Ir. Sadiman, seorang pengusaha konstruksi yang terkenal baik, lurus dan alim. Sadio mengerjakan pembangunan masjid tanpa kontrak dan upah, walaupun pernah ada gossip yang salah bahwa pembangunan masjid dikontrakkan ke Sadio. Untuk menghemat biaya pembangunan Umar Haq membeli kayu dari Kabupaten Lombok Timur. Kayu-kayu tersebut kemudian dikerjakan oleh tukang di dekat Jl. Pantai Gili Meno. Pada suatu waktu kayu yang dibeli Umar Haq dari Lombok Timur dikirim ke GPI dengan sebuah truk. Kayu tersebut akan digunakan untuk sebagai gording, reng dan usuk. Anak buah truk yang membawa kayu ternyata tidak jujur. Sebagian kayu diklaim sebagai milik orang lain yang juga dititipkan kepada mereka. Setelah dikonfirmasi ulang ke Umar Haq, ternyata anak buah truk telah mengurangi kayu masjid yang dititipkan kepadanya. Merasa tertipu, Suhardi Andung mengajak Imam Bachtiar untuk mencari truk yang digunakan mengangkut kayu tadi malam. Setiap toko di Sweta ditanya tentang truk mereka, apakah ada truk yang digunakan mengangkut kayu dari Lombok Timur tadi malam. Setelah sejumlah toko didatangi akhirnya ada sebuah toko yang mengaku pemilik truk tersebut, sehingga dapat ditemukan sopir dan keneknya. Mereka mengaku bersalah dan akan mengembalikan kayu-kayu tersebut hari itu juga. Hampir saja ada tragedi berdarah ketika mereka mengembalikan kayu-kayu tersebut ke GPI. Suhardi Andung yang langsung merasakan sulitnya mengumpulkan uang sumbangan masjid sangat marah melihat ada kayu masjid yang diambil orang. Pekerjaan konstruksi bangunan masjid yang didanai oleh keluarga H.M. Achwan secara keseluruhan memakan waktu 5 (lima) bulan, dari April hingga September 1999. Pekerjaan finishing, instalasi listrik dan pengecatan berlangsung sekitar sebulan, sehingga masjid sudah siap digunakan pada akhir Oktober 1999. Selama proses pembangunan masjid yang telah didanai oleh keluarga H.M. Achwan, Sadio dan Suhardi Andung memegang peranan yang sangat besar. Sadio adalah pengusaha konstruksi jalan dan bangunan, yang pada saat itu merupakan satu-satunya pengusaha yang mengerjakan konstruksi baja. Ia yang mengatur irama pembangunan masjid dan menyediakan tukang. Suhardi Andung adalah seorang sarjana ilmu sosial politik yang memahami dan berpengalaman di bidang konstruksi bangunan. Suhardi Andung merupakan juru bicara warga dalam komunikasi dengan Keluarga H.M. Achwan yang berkaitan dengan pembangunan masjid. Suhardi Andung menghabiskan sebagian besar waktunya di lokasi pembangunan masjid, dengan pekerjaan mengawasi tukang dan suplai bahan bangunan. Di dalam proses pembangunan masjid Al-Achwan Maghfurullah tersebut, warga muslim GPI juga tidak tinggal diam. Walaupun seluruh masjid akan dibangun oleh keluarga H.M. Achwan, keramik lantai di dalam masjid merupakan hasil kontribusi dari warga GPI. Pada bulan Agustus 1999, panitia mengadakan rapat di dalam masjid yang belum jadi dan meminta warga untuk menyumbang keramik. Dengan cepat warga GPI menyambut tantangan tersebut dan dalam semalam seluruh keramik yang dibutuhkan dapat diperoleh dari warga. Pekerjaan pembuatan atap dengan konstruksi baja juga mendapat banyak sumbangan dari warga. Sadio menyumbangkan peralatan las dan tukangnya yang sedang tidak sibuk, sedangkan Zaenal serta warga lainnya menyumbangkan minuman dan jajan untuk tukang yang sedang mengerjakan konstruksi baja tersebut. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan kecintaan warga terhadap masjid yang sedang dibangun. Penyerahan masjid kepada warga GPI dilaksanakan pada saat acara peringatan hari Isra’ Mi’raj, hari Minggu tanggal 7 Nopember 1999 (28 Rajab 1420 H). Saat itu kondisi keamanan masih belum baik, sehingga setiap perayaan hari-hari besar agama dilakukan pada sore hari, biasanya setelah shalat ‘Ashar. Pada acara serah terima tersebut, Hj. Dewi Achwan mewakili keluarga H.M. Achwan menyerahkan kunci masjid kepada ketua Pengurus, Syarifuddin. Disamping mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang diberikan, Syarifuddin atas nama seluruh pengurus juga berjanji untuk memakmurkan masjid dan memelihara bangunannya. Di dalam pidato sambutan serah terima masjid tersebut, Camat Suchrowardi menyatakan keterkejutannya. Biasanya jika seorang camat melakukan peletakan batu pertama, maka camat penggantinya atau bahkan pengganti dari penggantinya yang akan meresmikan penggunaan masjid tersebut. Masji Al-Achwan Maghfurullah, sangat istimewa, karena dalam dalam waktu satu sekitar setengah tahun sejak peletakan batu pertama masjid tersebut sudah dapat digunakan. Apalagi hal ini terjadi pada masa krisis moneter yang sangat parah di Indonesia. TGH Mustiadi di dalam tauziahnya menyatakan penghargaan kepada keluarga H.M. Achwan yang telah mewakafkan sebuah masjid untuk warga GPI yang memang sedang bekerja keras untuk memiliki sebuah masjid. Beliau juga menyatakan bahwa warga GPI telah menyelamatkan ‘sabuk beliau’ sehingga tidak rusak. Beliau berpesan agar masjid yang telah dikaruniakan Allah melalui wakaf keluarga H.M. Achwan tersebut dapat dimakmurkan oleh warga GPI. Memang tidak ada seorangpun yang memperkirakan bahwa masjid di GPI dapat selesai dalam waktu satu setengah tahun dari peletakan batu pertama. Kondisi krisis ekonomi yang menandai proses pembangunan masjid tersebut juga menunjukkan bahwa hanya Rahmat Allah SWT yang mampu mewujudkannya. Do’a warga muslim GPI bersama TGH Mustiadi telah dikabulkan oleh Allah dalam waktu yang relatif singkat. Setelah sebuah bangunan masjid berdiri di GPI, Suhardi Andung semakin berperan di dalam pembangunan fasilitas masjid berikutnya, misalnya tempat wudlu dan pagar masjid. Pembuatan tempat wudlu didesain dan dikerjakan oleh Suhardi Andung dengan dukungan dana dari Keluarga H.M. Achwan. Sedangkan pembuatan pagar dikerjakannya dengan dukungan dari dana masjid. Pagar besi dan pintunya yang dipasang di sebelah utara masjid berasal dari bekas pagar dan pintu di rumah keluarga H.M. Achwan. Sumbangan warga bagi kelengkapan fasilitas masjid juga sangat besar. Kerangka baja tower air disediakan oleh Sadio, sedangkan bak penampung air di tower merupakan sumbangan dari Subandrio. Instalasi listrik di dalam masjid dikerjakan oleh Mustofa dan Hari Rudianto. Instalasi sound system dikerjakan oleh Iwan. Lampu kristal di dalam masjid adalah sumbangan dari Ny. Hj. Aliyah Akasah, warga Perumnas Tanjung Karang yang mempunyai keponakan di GPI. Secara umum pelaksanaan pekerjaan konstruksi hingga finishing Masjid al-Achwan Maghfurullah tidak menemui kendala yang berarti. Kendala-kendala kecil yang tercatat adalah percobaan pencurian kayu kiriman dari Lombok Timur oleh truk pengantar yang kemudian dapat dikembalikan lagi; dan pencurian sejumlah kayu dari masjid. Agar hilangnya kayu tersebut tidak menimbulkan masalah dengan keluarga H.M. Achwan, maka dana simpanan masjid digunakan untuk mengganti kayu yang hilang tersebut.

 MEMAKMURKAN MASJID

 Di dalam masyarakat muslim, hampir seluruh perkembangan tahapan kehidupannya dapat dilakukan di dalam masjid. Disamping untuk tujuan ritual keagamaan, penggunaan masjid juga dapat untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kelahiran, pernikahan dan kematian seorang muslim. Masjid Al-Achwan telah membuka diri untuk kegiatan-kegiatan tersebut, sehingga keterkaitan hubungan warga dengan masjid lebih terasa. Masjid Al-Achwan memang termasuk masjid yang makmur. Jamaah shalat fardlu selalu banyak, termasuk jamaah shalat ‘Ashar dan ‘Isya yang selalu lebih dari dua shaf. Penyerahan kunci masjid dari keluarga H.M. Achwan kepada pengurus masjid, pada tanggal 7 Nopember 1999 (28 Rajab 1420 H) memang merupakan hari penggunaan masjid secara resmi. Tetapi beberapa hari sebelumnya, sebagian warga secara diam-diam sudah menggunakan masjid tersebut untuk shalat berjamaah. Warga GPI yang tercatat sebagai orang yang shalat pertama kali di Masjid Al-Achwan Maghfurullah adalah Hamid Jasman, mantan Kepala RRI Mataram yang tinggal di Jl. Pantai Sira 2. Hari Jum’at pertama setelah penyerahan kunci masjid jatuh pada tanggal 12 Nopember 1999 (3 Sya’ban 1420). Pada hari itu, untuk pertama kalinya Masjid Al-Achwan Maghfurullah digunakan untuk shalat Jum’at. Sebelumnya warga GPI melakukan shalat Jum’at di beberapa masjid yang terdapat di sekitar kompleks GPI. Seorang warga di Jl. Pantai Sanur, Umar, berindak sebagai muadzin; sedangkan sebagai imam dan sekaligus khatib adalah TGH Mustiadi. Pada shalat-shalat Jum’at berikutnya, pada periode antara tahun 1999-2001, yang menjadi imam dan khatib adalah Zaenal dan Shohib, yang kadangkala diselingi oleh Fairuzzabadi. Sedangkan sebagai muadzin yang mendampinginya adalah Umar dan Ta’amim, atau digantikan oleh Mustajab setelah menjadi marbot masjid pada tahun 2000. Bulan Ramadlan 1420 H jatuh pada tanggal 9 Desember 1999 hingga 8 Januari 2000. Pada bulan Ramadlan tersebut, untuk pertama kalinya dilakukan shalat Tarawih dan Witir secara berjamaah di Masjid Al-Achwan. Shalat Tarawih yang pertama ini diawali dengan pidato sambutan dari Ketua Pengurus Masjid, Syarifuddin. Pelaksanaan shalat Tarawih sama dengan pelaksanaan pada bulan-bulan Ramadlan sebelumnya, ketika warga GPI masih menggunakan mushalla di Jl. Pantai Sira 22. Shalat Witir dilakukan dua kali, setelah rakaat kedelapan dan setelah rakaat kedua-puluh. Dengan demikian warga dapat mengerjakan shalat malam baik 11 maupun 23 rakaat. Shalat Tarawih selalu meriah di kompleks GPI. Kehadiran masjid yang baru mereka miliki tentu saja membawa suasana ibadah yang lebih bersemangat. Hubungan warga muslim dengan non-muslim juga sangat baik dan saling membantu. Ketika warga muslim melakukan shalat Tarawih di masjid, maka warga non-muslim keluar dari rumah untuk mengawasi keamanan rumah-rumah yang sepi ditinggal penghuninya ke masjid. Pada saat itu, masjid masih terletak di tanah kosong yang luas. Bangunan masjid dapat terlihat jelas dari Jl. Pantai Sira atau bahkan dari Jl. Gajah Mada, di antara Jempong dan Pagesangan). Pada saat hari ‘Idul Fithri tahun 1420 H (8 Januari 2000), belum dilakukan shalat ‘Idul Fithri berjamaah di Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Sebenarnya warga muslim GPI sudah berjumlah sekitar 100 orang, tetapi sekitar dua pertiganya pulang mudik ketika lebaran. Shalat Tarawih pada 10 malam terakhir biasanya hanya dihadiri oleh sekitar 10 jamaah saja, karena sebagian besar sudah pulang kampung. Dikhawatirkan jumlah jamaah terlalu sedikit jika dilakukan shalat ‘Idul Fithri di Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Pada tanggal 12 Maret 2000, pengurus masjid melakukan rapat untuk persiapan perayaan ‘Idul Adha yang akan jatuh pada tanggal 16 Maret 2000. Rapat tersebut memutuskan bahwa pada lebaran ‘Idul Adha 1420 H akan dilaksanakan shalat Id di Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Di dalam rapat terlontar ide untuk membentuk Taman Pendidikan al-Quran (TPQ), yang disambut antusias oleh warga GPI. Pembentukan TPQ tersebut ditetapkan dengan sebuah Surat Keputusan dari pengurus masjid tertanggal 19 Maret 2000 (12 Dzul-Hijjah 1420). Ustadz dan ustadzah pengajar TPQ tersebut meliputi ………………, …………….. Disamping itu juga disadari adanya kebutuhan orang yang terampil untuk penanganan jenazah. Kebutuhan tersebut dipicu oleh kejadian meninggalnya putri pertama Triadi yang sempat kesulitan dalam penanganan jenazahnya. Pada saat itu memang belum ditetapkan siapa yang akan bertindak sebagai koordinator penanganan jenazah muslim GPI. Rapat pada hari itu memutuskan bahwa pemandian jenazah muslim akan dikoordinir oleh Shohib, sedangkan pengurusan penguburan jenazah dikoordinir oleh Mustofa. Shalat ‘Idul Adha pertama kali dilakukan di Masjid Al-Achwan Maghfurullah pada tanggal 16 Maret 2000 (9 Dzulhijjah 1420). Sebagai imam dan khatib adalah seorang dosen IAIN Mataram, Drs. Mutawalli, M.Ag. , sedangkan sebagai muadzinnya adalah Umar. Shalat ‘Idul Adha yang pertama kali di masjid Al-Achwan Maghfurullah ini berlangsung dengan jamaah yang sangat banyak. Tidak ada warga yang mudik. Semua warga muslim GPI ingin merasakan shalat Id pertama kalinya di masjid mereka. Pada tahun 2000 dan 2001 belum dilakukan shalat ‘Idul Fithri di Masjid Al Achwan Maghfurullah. Setiap Ramadlan diskusi tentang wacana penggunaan masjid untuk shalat ‘Idul Fithri selalu muncul tetapi kemudian diputuskan untuk tidak melaksanakannya. Pertimbangan utama adalah keraguan akan jumlah jamaah shalat yang akan datang ke Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Jumlah keluarga muslim yang tinggal di rumah pada akhir Ramadlan diperkirakan hanya sekitar 20 keluarga. Sebagian besar warga muslim mudik ke kampung halaman, terutama warga yang berasal dari Pulau Lombok. Dengan jumlah jamaah yang sedikit dikhawatirkan shalat ‘Idul Fithri menjadi kurang bersemangat. Pada tahun 2001, terjadi pembangunan perumahan tahap kedua yang memenuhi lokasi di kawasan sekitar masjid, yaitu Jl. Pantai Aan, Jl. Pantai Nipan, Jl. Pantai Senggigi. Masjid Al Achwan yang sebelumnya terletak di tengah tanah kosong, sekarang sudah dikelilingi oleh rumah. Perpindahan warga penghuni baru di perumahan sekitar masjid juga berlangsung secara cepat, sehingga pada pertengahan tahun 2002. Jamaah shalat fardlu di masjid semakin bertambah banyak. Jamaah shalat Tarawih juga sudah memenuhi seluruh ruangan masjid. Pada tanggal 6 Desember 2002 (1 Syawal 1423 H), shalat ‘Idul Fithri pertama kali dilakukan di Masjid Al- Achwan Maghfurullah. Pada awalnya sebagian pengurus masjid masih ragu-ragu untuk melaksanakannya. Tetapi dorongan ustadz Nasihin, seorang dosen STAIN, membuat pengurus masjid memutuskan untuk melaksanakan shalat ‘Idul Fithri di Masjid al-Achwan Maghfurullah. Walaupun jamaah shalat ‘Id tidak sebanyak yang diharapkan, tetapi seluruh warga muslim yang tinggal (tidak mudik) melakukan shalat di Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Jumlah jamaah shalat ‘Id dapat memenuhi seluruh ruangan masjid termasuk di semua terasnya. Shalat ‘Idul Fithri yang pertama kali ini dilaksanakan dengan Nasihin sebagai imam dan khatib, dan Ta’amim sebagai muadzin. Pembentukan Diniyah Al-Achwan merupakan gagasan dari Zumri, sebagai pelengkap dari TPQ yang sudah berjalan. Diniyah Al-Achwan yang didirikan sejak tahun 2001 hanya berjalan efektif dua tahun. Setelah itu Diniyah tersebut mati suri. Pendidikan Diniyah tersebut dilaksanakan pada sore hari, karena pada pagi hari semua anak usia sekolah belajar di sekolah formal SD atau SMP. Adanya ujian nasional membuat sebagian besar siswa SD dan SMP mengambil les pelajaran tambahan pada sore harinya, sehingga mereka banyak yang tidak punya waktu lagi untuk belajar di Diniyah. Penidirian Taman Kanak-Kanak (TK) Islam Al-Achwan dirintis pada tahun 2002. oleh Zaidi Abdad, seorang dosen STAIN Mataram. Sejak berdiri TK islam Al Achwan secara perlahan menunjukkan kualitasnya sebagai satu-satunya TK di GPI. Walaupun pendirian TK Islam Al-Achwan dibawah Yayasan Al-Achwan, tetapi semua prestasi dan keberhasilan TK Islam Al-Achwan merupakan hasil kerja keras dari Zaidi Abdad dan para guru pembinanya, tanpa campur tangan yayasan. TK tersebut dibina oleh ……. dan …….. Di dalam shalat berjamaah di masjid, pernah terjadi peristiwa yang sulit dilupakan. Pada bulan Desember 2003, jamaah shalat Subuh sedang melakukan shalat ketika terjadi gempa bumi yang berkekuatan 5,4 SR. Disamping menimbulkan guncangan yang kuat pada jamaah shalat, gempa tersebut juga menimbulkan suara yang mengerikan. Kejadian gempa tersebut menyebabkan seluruh makmum shalat Subuh berlarian keluar bangunan masjid. Hanya imam shalat, Nasihin, yang bertahan di dalam bangunan masjid. Zumri dan Shohib yang turut menjadi makmum meneruskan shalat di halaman masjid. Beberapa makmum lain meneruskan shalat di halaman, sebagian lainnya langsung pulang mencemaskan keluarga di rumah. Guncangan gempa telah membuat atap tengah masjid yang menyangga kubah bergerak keras sekali, karena hanya bertumpu pada empat tiang dari baja. Gerakan atap yang keras menyebabkan banyak genting jatuh ke atap genting di bawahnya. Jatuhnya genting beton yang menimpa genting beton di bawahnya menimbulkan suara yang mengerikan, ditambah dengan suara pecahan genting yang menggelinding di atas genting jatuh ke tanah. Besok harinya genting-genting yang pecah tersebut segera diganti karena saat itu musim hujan. Setelah mencari genting beton dengan ukuran sama ke beberapa rumah tetapi belum mencukupi, Suhardi Andung dan Imam Bachtiar meminta genting sekitar 50-60 buah ke U’us, yang masih menyimpan banyak genting beton. Jumlah genting yang pecah dari gempa pagi itu sekitar 70 buah. Kemakmuran Masjid Al-Achwan Maghfurullah juga terjadi pada hari-hari besar agama. Penyembelihan dan penanganan hewan qurban dilakukan di halaman masjid setiap tahun. Pada peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW (Maulid), pengurus masjid pernah mendatangkan Walikota Mataram, Drs. H. Ruslan. Pada tanggal 21 Maret 2009 (24 Rabiul awwal 1430 H), pengurus masjid juga berhasil mendatangkan Gubernur NTB, Dr. H. Zainul Majdi (TGH Bajang ) ke Masjid Al-Achwan. Kedatangan para pejabat tersebut merupakan buah karya dari Zaidi Abdad, yang banyak dikenal oleh pejabat.

 KEPENGURUSAN MASJID

Kemakmuran sebuah masjid diantaranya tergantung pada kepengurusan masjid tersebut. Masjid yang makmur umumnya memiliki kepengurusan yang baik. Fungsi utama kepengurusan masjid adalah memakmurkan masjid dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Untuk menjalankan fungsi tersebut pengurus masjid minimal harus mampu menyediakan dana perawatan masjid dan fasilitas pendukungnya, mengumandangkan adzan setiap waktu shalat fardlu, memelihara kebersihan dan kesucian masjid, menjamin keamanan masjid, dan menciptakan suasana ibadah yang khidmad di dalam masjid. Adanya sejumlah perbedaan khilafiyah didalam beberapa tata cara peribadatan juga harus dapat ditengahi oleh pengurus masjid secara adil. Ketika masjid diserah-terimakan dari Keluarga H.M. Achwan kepada panitia pembangunan masjid, pada tanggal 7 Nopember 1999, maka pada saat itu pula seluruh panitia pembangunan masjid disepakati untuk ditetapkan sebagai pengurus masjid. Besoknya pada hari Senin, Zaenal sebagai Ketua I pengurus masjid pergi ke Kantor Departemen Agama (Depag) Kota Mataram untuk menyerahkan surat permohonan ijin melaksanakan shalat Jum’at. Pada saat itu pegawai di Kantor Depag meminta susunan pengurus masjid. Pada hari berikutnya, susunan pengurus masjid yang pertama dibuat, yang terdiri dari Panitia Pembangunan Masjid ditambah dengan sejumlah warga sehingga berjumlah 40 orang. Penyusunan pengurus masjid berjumlah 40 orang tersebut sebagai upaya untuk memungkinkan dilakukannya shalat Jum’at dimana semua anggota pengurus masjid diwajibkan shalat Jum’at di Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Dokumen susunan pengurus masjid yang pertama tersebut sayangnya tidak dapat ditemukan lagi. Pada tahun 2001, pengurus masjid melakukan pembaharuan kepengurusan yang pertama kali . Pengurus masjid yang terbentuk pada saat itu adalah kepengurusan masjid yang kedua. Pembaharuan kepengurusan tersebut dilakukan karena adanya sejumlah warga muslim GPI yang menjadi pengurus lama telah pindah tempat tinggal, dan adanya warga pendatang yang baru masuk. Pada waktu itu jumlah RT di GPI sudah menjadi tujuh, dari semula dua RT. Sebuah RW juga sudah terbentuk di GPI yang dijabat oleh hamid Jasman. Kepengurusan masjid yang kedua ini diputuskan dalam sebuah Surat Keputusan tertanggal 9 April 2001 (15 Muharram 1422 H). Di dalam kepengurusan masjid yang kedua ini, sebagai ketua pengurus masih dipegang oleh Syarifuddin, yang dibantu oleh Zaenal (Ketua I) dan Suhardi Andung (Ketua II). Sebagai sekretaris dan wakil sekretaris adalah Imam Bachtiar dan Haruman Taufik, sedangkan sebagai bendaharan dan wakil bendahara adalah Slamet Mawardi dan Panji Priatna. Pengurus masjid kedua tersebut didampingi oleh sejumlah anggota yang mengurusi takmir dan sarana/prasarana. Dua dosen IAIN yang sudah bertempat tinggal di GPI masuk kepengurusan sebagai anggota Takmir di Bidang Ibadah, yaitu Achmad Gozali dan Nasihin, bersama dengan Umar H. Usman. Pada tahun 2005, Kantor Departemen Agama menginventarisir dan menata ulang seluruh kepengurusan masjid di Kota Mataram. Susunan organisasi pengurus masjid telah dibakukan oleh Departemen Agama, walaupun masih diperbolehkan adanya beberapa perubahan. Struktur pengurus masjid yang baku tersebut juga diikuti oleh Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Penyusunan kepengurusan masjid yang ketiga ini merupakan yang paling panas di dalam prosesnya. Debat di dalam rapat yang berlangsung panas dan panjang menghasilkan pembentukan sebuah formatur, yang terdiri dari lima orang, yaitu Achmad Gozali, Imam Bachtiar, Zaidi Abdad, M. Nasihin, dan Slamet Mawardi. Penunjukkan ketua formatur bahkan harus dilakukan melalui pengambilan suara terbanyak (voting). Sebagian warga muslim GPI sangat menyayangkan adanya kejadian perdebatan panas yang panjang tersebut. Euforia perkembangan demokrasi yang berlebihan di dalam masyarakat turut terbawa di dalam rapat penyususnan pengurus masjid. Formatur akhirnya berhasil menyusun sebuah kepengurusan masjid yang ketiga, yang dibentuk dengan sebuah Surat Keputusan pada 8 Agustus 2005 ini adalah pengurus yang ketiga dari Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Pada kepengurusan ketiga tersebut, Ketua pengurus masjid dijabat oleh Zaenal, yang dibantu oleh tiga orang ketua yaitu Achmad Gozali (Ketua I), Imam Bachtiar (Ketua II), dan Sadio (Ketua III). Sebagai Sekretaris Umum adalah Zumri, yang dibantu Sekretaaris I dan Sekretaris II yaitu Haruman taufik dan Misbahuddin. Sebagai Bendahara I dan II adalah Slamet Mawardi dan Panji Priatna. Di dalam kepengurusan yang ketiga ini, ditetapkan dua orang Imam Masjid yang terdiri dari Zaidi Abdad dan M. Nasihin, serta empat orang penasihat yaitu Lalu Jafar Suryadi (almarhum), Djamaluddin Adam, Syarifuddin, dan Hamid Djasman. Kepengurusan masjid ketiga ini berakhir pada Agustus 2008. Sebelum masa kerja kepengurusan masjid yang ketiga berakhir dilakukan sebuah rapat pergantian pengurus. Rapat yang dilaksanakan di dalam masjid setelah shalat Isya menghasilkan sebuah formatur yang terdiri atas Zaidi Abdad, Riva’I, Zaenal, Imam Bachtiar dan Zumri. Rapat tersebut berjalan dengan suasana yang gembira dan produktif, sangat berbeda dengan rapat pembentukan kepengurusan yang ketiga. Pada kepengurusan keempat tersebut, Zaidi Abdad menjabat sebagai Ketua yang dibantu oleh Ketua I (Zumri) dan Ketua II (……….). Riva’i mendapat tugas sebagai Sekretaris, yang dibantu oleh Umar sebagai Wakil Sekretaris. Bendahara masjid masih tetap dipegang oleh Slamet Mawardi, dibantu … sebagai Wakil Bendahara. Imam shalat masjid terdiri dari Nasihin, Zaenal, …… Jamaluddin Adam, Hamid Jasman dan Imam Bachtiar mendapat peran sebagai Penasihat. Pengurus masjid generasi keempat ini menunjukkan cara kerja yang berbeda dari pengurus masjid sebelumnya, lebih serius dan lebih terorganisir.

 PENINGKATAN LAYANAN MASJID

 Peningkatan layanan masjid membutuhkan proses yang panjang. Untuk melayani jamaah shalat dibutuhkan bangunan yang luas. Sedangkan pelabaran masjid membutuhkan biaya yang besar. Sampai saat ini, pelebaran luas Masjid Al-Achwan Maghfurullah dilakukan dua kali. Pelebaran pertama dilakukan dengan menambah lantai di belakang teras timur masjid. Pelebaran kedua juga dilakukan ke arah timur masjid dengan konstruksi yang permanen. Pengurus masjid mendapat sumbangan warga yang termasuk dalam dari donator masjid tetap, untuk dana pemeliharaan dan pelayanan masjid. Setiap bulan seorang pemungut mengambil uang dari para donator tersebut. Besar sumbangan donator bervariasi antara Rp 5-20 ribu per keluarga, yang secara kumulatif menjadi sekitar Rp 3-4 juta setiap bulan. Dengan uang bulanan tersebut masjid dapat membayar honor marbot, membayar listrik dan telpon, dan kebutuhan masjid yang lain. Pelebaran masjid yang pertama dilakukan dengan menambah lebar teras belakang dari 2,5 meter menjadi 8 (delapan) meter, sepanjang 10 meter. Penambahan lantai ini didanai oleh warga GPI, tanpa donator dari luar. Pelebaran masjid yang pertama ini memungkinkan masjid untuk menampung 400 jamaah shalat. Orang yang paling berperan di dalam pelebaran masjid pertama ini adalah Suhardi Andung. Ia mengurusi pembelian bahan bangunan dan mengawasi pekerjaannya. Pada masa kepengurusan yang ketiga, pengurus masjid menyadari adanya kebutuhan untuk memperlebar luas masjid, yang sudah tidak mampu lagi menampung jamaah shalat Jum’at. Sebagian warga harus rela melakukan shalat Jum’at di halaman masjid. Pada tahun 2006, jumlah RT sudah semakin bertambah menjadi 14 RT. Dengan wrga muslim yang berjumlah sekitar 500 KK, maka masjid yang berukuran 15x15 meter persegi tersebut membutuhkan pelebaran. Karena itu, pada tahun 2006 dibentuk Panitia Pelaksana Pembangunan Pelebaran Masjid Al-Achwan Maghfurullah. Pelebaran masjid yang kedua dilakukan oleh sebuah panitia. Panitia tersebut terdiri dari Imam Bachtiar (Ketua), Fairuzzabadi (Wakil Ketua), Umar H. usman (Sekretaris), Misbahuddin (Wakil sekretaris), Rifa’I (Bendahara), dan Slamet Mawardi (Wakil Bendahara). Di dalam Seksi Pembangunan terdapat Subandrio, Sadio,Agustiar, Mardi, A. Rahman, dan Paniran. Di dalam seksi dana yang dikoordinir Suhardi Andung terdapat pemungut sumbangan masjid dari Rt 01 hingga RT 16, yaitu Saiful Abubakar (RT 01), M. Noor (RT 02), Hari Wisnu Prasetyo (RT 03), Syamsuddin (RT 04), Irianto (RT 05), Budianto (RT 06), Ahmad (RT 07), Adenan (RT 08), Isa Ansori (RT 09), Alwi Adam (RT 10), L. Wirantanus (RT 12), Sugiyanto (RT 13), Lukman (RT 14) dan Budi Kawoso (RT 16). Panitia pembangunan pelebaran masjid tersebut akan menambah bangunan dua lantai di belakang bangunan induk, dan akan meninggikan bangunan induknya. Secara umum, pembangunan lantai pertama seluas 175 m2 akan membutuhkan biaya sekitar Rp 200 juta , sedangkan pembangunan tahap kedua akan menelan biaya sekitar Rp 1 500 juta. Dengan scenario jumlah warga muslim 600 keluarga, maka biaya pembangunan tahap pertama akan selesai jika setiap keluarga dapat menyumbang Rp 1.250.000,-. Ketika dihitung ulang ternyata jumlah warga muslim yang benar-benar tinggal di GPI sekitar 450 keluarga, sehingga sebagian warga diharapkan menyumbang lebih dari angka yang ditetapkan tersebut. Sejumlah donator dari luar GPI juga turut menyumbang masjid, termasuk keluarga H.M. Achwan. Pada tahun 2008, panitia tersebut mengalami perubahan karena Imam Bachtiar lebih banyak tinggal di Bogor. Sebagai ketua yang baru dipilih Subandrio, yang dibantu Wakil Ketua Misbahuddin. Sebagai Sekretaris dipilih Umar, yang juga menjabat sebagai Kepala Lingkungan GPI. Warga yang menjadi panitia kedua pada dasarnya sama dengan panitia yang pertama. Penggalangan dana masih tetap dilakukan oleh Ketua RT atau warga setempat yang ditugaskan Ketua RT. Pada panitia yang kedua ini, perubahan Ketua RT terjadi pada RT 01. Pada pelebaran masjid yang kedua ini, Subandrio merupakan orang yang paling berperan di dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Sedangkan pendanaan pembangunan sangat tergantung pada produktivitas semua Ketua RT yang ada di GPI, atau orang yang ditunjuk oleh Ketua RT untuk menangani masalah sumbangan masjid. Secara perlahan, pelebaran masjid tersebut berjalan sesuai dengan rencana. Lantai hasil pelebaran yang kedua ini bahkan sudah dapat digunakan shalat pada bulan Ramadhan tahun 2008 (1429 H). Pelayanan masjid tidak hanya terbatas untuk shalat berjamaah, melainkan segala urusan yang berkaitan dengan hubungan dengan Allah, yang terdiri dari kelahiran, pernikahan, dan kematian. Ketika seorang bayi muslim dilahirkan, Islam mewajibkan orang tuanya untuk melakukan aqiqah. Pada saat seorang muslim sudah dewasa, islam mewajibkannya untuk menikah. Pada saat kematian menjemput seorang muslim, Islam mewajibkan warga muslim untuk memandikan, mengkafani, menyalati, dan mengubur jenazah. Pelaksanaan aqiqah bagi warga GPI kadang menimbulkan masalah. Hampir semua rumah warga GPI berukuran kecil, sehingga kadang tidak dapat dilakukan sebuah acara yang mengundang banyak orang. Hal ini bias menjadi kendala dalam pelaksanaan aqiqah. Dalam situasi ini Masjid Al-Achwan menyediakan tempat untuk pelaksanaan aqiqah. Pemotongan rambut dan tauziah aqiqah dapat dilakukan di dalam masjid, sedangkan acara makan-makan sesudah acara aqiqah dilakukan di luar bangunan masjid. Bayi yang diaqiqahkan di dalam Masjid Al-Achwan pertama kali adalah Elly putri dari keluarga Zaenal, pada tanggal 21 Juni 2003. Masalah yang juga terjadi di dalam pelaksanaan pernikahan, sehingga masjid juga menyediakan layanan untuk acara pernikahan. Pada saat ini, pernikahan di masjid hanya terbatas pada acara akad nikah, sedangkan acara ‘walimahan’ atau resepsi pernikahan dilakukan di rumah warga. Warga yang pertama kali menggunakan Masjid Al-Achwan sebagai tempat akad nikah adalah Yofi, putra dari keluarga Joni (TNI AL), pada tahun 2002. Shalat jenazah di Masjid Al-Achwan pertama kali dilakukan pada almarhum Naryo dari keluarga Nuriyah (RT 03) Jl. Batu Layar. Di kompleks GPI, secara tradisi penguburan jenazah dilakukan setelah shalat ‘Ashar. Jenazah dibawa ke masjid sebelum waktu ‘Ashar, dan dishalatkan setelah shalat ‘Ashar.

1 komentar:

  1. Patut di contoh dan perlu di ikuti karena, masih banyak masjid di wilayah NTB yang sangat perlu bantuan biaya pembangunan , pemikiran dan pemahaman semua pihak khususnya umat Islam agar dalam beribadah tetap mengikuti syariat Islam yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW .

    BalasHapus